Sabtu, 14 Juli 2012

Buletin Online Hizbuh Tahrir Indonesia


Pernyataan Marzuki Alie Sungguh Menyakiti Warga Miskin, Cerminan Penguasa Yang Tidak Melayani Masyarakat

Ketua DPR RI Marzuki Ali beranggapan bahwa orang menjadi miskin itu karena malas bekerja. Jika seseorang tidak malas bekerja, kemiskinan tidak akan menghinggapi. “Orang miskin itu karena salahnya sendiri dia malas bekerja. Jadi bukan salah siapapun kalau ada orang miskin,” ujar Marzuki saat berbicara dalam acara seminar di Kongres BEM PTNU (Badan Eksekutif Mahasiswa-Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama) se-nusantara di kampus Unipdu Rejoso, Peterongan, Jombang, Minggu (8/7/2012).
Pernyataan Marzuki Ali ini sangat memprihatinkan. Mencerminkan ketidakpekaannya terhadap jumlah warga miskin yang jumlahnya masih puluhan juta, menandakan ketidakpantasannya sebagai bagian dari penguasa yang seharusnya melayani masyarakat, dan menunjukkan ketidakpahamannya terhadap sistem politik ekonomi di tanah air.
Marzuki mengabaikan kenyataan bahwa 50 % orang miskin yang pendapatannya telah naik dari garis kemiskinan kini telah kembali miskin. Dia juga mengabaikan realita bahwa jumlah warga yang bunuh diri akibat himpitan ekonomi terjadi hampir setiap bulan. Bahkan bunuh diri ini dilakukan bersama-sama dengan anggota keluarga.
Ketua DPR ini menutup mata bahwa bertambahnya banyak warga miskin telah bekerja keras membanting tulang bahkan bekerja lebih dari satu pekerjaan untuk bisa bertahan hidup tapi tetap berada dalam jurang kemiskinan. Klaim pemerintah bahwa mereka berhasil menurunkan angka pengangguran hanyalah retorika. Banyak ekonom yang menyatakan bahwa pemerintah hanya melihat kemiskinan mutlak, tapi tidak kemiskinan relatif akibat kesenjangan sosial.
Apakah ia tidak melihat bahwa jumlah angkatan kerja terdidik di tanah air yang menganggur masih di atas lima persen. Bagaimana ia bisa menyatakan bahwa mereka malas padahal mereka adalah tenaga kerja yang terdidik? Apakah ia juga tidak tahu bahwa banyak tenaga kerja yang tidak bekerja sesuai dengan bidang pendidikannya? Bahkan ada sarjana lulusan terbaik di Riau yang justru bekerja sebagai cleaning service? Apakah ia mengatakan ini karena kemalasannya?
Marzuki Ali menerapkan peribahasa; buruk muka cermin dibelah. Ketidakmampuan para penguasa dalam menyejahterakan dan buruknya sistem ekonomi liberal ia tutupi dengan menyalahkan warga yang justru menjadi korbannya.
Ekonomi liberal telah menciptakan kesenjangan sosial. Penumpukkan kekayaan pada sebagian kecil orang sedangkan mayoritas rakyat kelimpungan mengais-ngais penghidupan. Hal ini dibela oleh para penguasa melalui undang-undang liberalisasi SDA, memberikan suku bunga tinggi kepada para nasabah bank, dan menyelamatkan para bankir yang kolaps seperti dalam kasus Century.
Bukan rakyat miskin yang malas bekerja, tapi para penguasalah yang malas memakmurkan rakyatnya. Para penguasa lebih senang memanjakan kaum kapitalis asing maupun domestik sambil menumpuk kekayaan untuk diri mereka sendiri. Ucapan Marzuki Ali hanya mempertegas tabiat penguasa dan kaum kapitalis di negeri ini.
Komentar dan tabiat seperti itu akan terus ada ke depan nanti.  Sebab selain karena ketidakpekaan, hal itu muncul lebih karena yang dijadikan pedoman dan tolok ukur adalah akidah sekulerisme dan pandangan ekonomi kapitalisme.  Sikap, tabiat dan komentar sepert itu hanya mungkin muncul dari politisi yang berideologikan sekulerisme kapitalisme.  Islam yang dipeluknya hanya diambil dari aspek spiritualisme.
Fakta seperti tidak mungkin muncul dari seorang politisi Islam yang menjadikan Islam sebagai tolok ukur berpolitiknya.  Sebab politik Islam itu adalah pemeliharaan urusan dan kemaslahatan rakyat yang diurus sesuai hukum-hukum Islam.  Keberhasilan diukur dari seberapa besar dan sebaik apa kepentingan dan kemashalatan rakyat bisa terpelihara dan terjamin.  Bagi seorang penguasa, pejabat dan politisi muslim sejati, jika masih ada kemaslahatan rakyat meski hanya beberapa orang atau bahkan satu orang saja, dia tidak akan menyalahkan rakyat yang diurusnya sebaliknya hal itu menjadi cambuk bagi dirinya untuk bekerja keras agar kemaslahatan rakyat itu bisa dipelihara dan dijamin sebab dia yakin sekecil apapun pengabaian terhadap kepentingan rakyat yang pemeliharaannya telah dipercayakan kepadanya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
Begitu pula tabiat, sikap dan komentar seperti di atas hanya muncul ketika yang dijadikan pedoman adalah politik ekonomi kapitalisme yang mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi secara agregat dan lebih melihat angka-angka.  Sebaliknya, hal itu tidak mungkinmuncul jika yang dijadikan pedoman adalah politik ekonomi Islam.  Sebab politik ekonomi Islam adalah jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan asasi rakyat individu per individu dan pemberian kemungkinan bagi tiap individu rakyat untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya sesuai dengan kemampuan masing-masing dalam bingkai masyarakat yang khas yaitu masyarakat Islam.  Adanya rakyat miskin yang kebutuhan pokoknya belum terpenuhi meski hanya beberapa orang atau bahkan satu orang, apalagi masih 29 juta orang seperti saat ini itupun dengan batas angka kemiskinan yang tidak realistis dan tak manusawi, maka penguasa dan politisi muslim sejati tidak akan  berbangga apalagi menyalahkan rakyat yang semestinya dia urusi dan jamin pemenuhan kebutuhan pokoknya.  Sebaliknya hal itu justru akan melecut dirinya untuk lebih giat dan keras mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang dia pimpin.
Agar rakyat tidak mendengar komentar menyakitkan seperti komentar di atas, dan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan pandangan, tolok ukur dan sistem politik dalam politik, dan menerapkan pandangan, tolok ukur dan sistem ekonomi Islam untuk mengatur perekonomian.  Semua itu hanya mungkin diwujudkan dengan menerapkan syariah Islam secata toal dan utuh dalam bingkai sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. [IJ & YA - LS HTI] ...

Buletin Online Hizbuh Tahrir

Terapkan Syariah, Campakkan Sistem Kufur


Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang- orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul) (tqs al-Nahl [16]: 36).

Beribadah kepada Allah SWT dan menjauhi al-thaghut. Itulah dakwah semua para nabi dan rasul. Meskipun ada perbedaan dalam beberapa hal syariah, namun semuanya menyampaikan hal tersebut. Itu menunjukkan bahwa meyembah dan beribadah kepada Allah sekaligus mengingkari dan menjauhi al-thaghut merupakan hal penting dan mendasar.

Seruan Tauhid untuk Tiap Umat
Allah SWT berfirman: Walaqad ba'atsnâ fî kulli ummah rasul [an] (dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat). Telah menjadi ketetapan-Nya bahwa manusia diciptakan untuk beribadah. Untuk itu, Allah SWT mengutus nabi dan rasul kepada manusia untuk menyampaikan kewajiban beribadah tersebut dan berbagai petunjuk lainnya. Karena ketetapan tersebut berlaku untuk seluruh manusia, maka Allah SWT mengutus rasul kepada setiap umat. Hal inilah yang ditegaskan ayat ini.Sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir, ayat ini memberitakan bahwa setiap masa dan kelompok manusia diutus seorang rasul. Selain ayat ini, fakta tersebut juga ditegaskan dalam beberapa ayat lain, seperti firman Allah SWT: Tiap-tiap umat memiliki rasul (tqs Yunus [10]: 47).
Semua rasul yang diutus itu membawa risalah dan menyampaikan petunjuk kepada manusia. Sekalipun sebagian syariah yang dibawa oleh para rasul tersebut terdapat perbedaan (lihat QS al-Maidah [5]: 47), namun ada hal yang sama yang didakwahkan oleh semua rasul itu. Hal tersebut dinyatakan dalam firman Allah SWT selanjutnya: ani [u] 'budul-Lah wa [i] jtanibû al-thaghut ([untuk menyerukan]: "Sembahlah Allah [saja], dan jauhilah Thaghut itu").

Menurut ayat ini, ada dua hal yang didakwahkan oleh semua rasul kepada umatnya.Pertama , perintah beribadah kepada Allah SWT. Secara bahasa, kata al-'ibadah berarti al-thâ'ah (ketaatan). Demikian Abu Bakar al-Razi dalam Mukhtar al-Shi hh ah. Sehingga, sebagaimana dijelaskan oleh Dr Ahmad Mukhar dalam Mu'jam al-Lughah al-'Arabiyyah al-Mu'ashirah bahwa kalimat 'abadal-ah berarti wa hh adahu wa Atha 'ahu (mengesakan dan menaati-Nya), tunduk dan merendahkan diri kepada-Nya, terikat dengan syariah-Nya, dan menunaikan fardhu-fardhu-Nya. Al-Samarqandi memaknai ayat ini: Esakanlah Allah dan taatlah kepada-Nya. Dengan demikian, beribadah kepada Allah SWT ad
Kedua , menjauhi al-thaghut . Dijelaskan al-Baghawi, al-thaghut adalah kullu Ma'bud min dûnil-Lah (semua sesembahan selain Allah). Dengan demikian, kata al-thaghut memiliki cakupan sangat luas. Penguasa diktator yang mewajibkan dirinya lebih ditaati dari Allah SWT dapat dimasukkan ke dalam pengertian tersebut. Demikian juga wakil rakyat-sebagaimana doktrin demokrasi-yang wajib diikuti semua kehendaknya melebihi Allah SWT.

Sehingga maksud ayat ini, sebagaimana dijelaskan al-Syaukani adalah: Tinggalkanlah semua sesembahan selain Allah seperti setan, dukun, dan semua yang mengajak kepada kesesatan. Al-Samarqandi mengatakan, "Tinggalkanlah beribadah kepada al-thaghut." Ibnu Jarir al-Thabri juga memaknainya , "Jauhilah setan, berhati-hatilah terhadapnya yang menyesatkan kalian dan menghalangi kalian dari jalan Allah, sehingga kalian menjadi tersesat."

Bahwa hal tersebut menjadi tema dakwah seluruh nabi juga disebutkan dalam beberapa ayat lainnya, seperti dalam QS al-Anbiya [21]: 25.

Yang Dapat Petunjuk dan uang Sesat

Meskipun seruan yang disampaikan oleh para rasul itu sama, namun respon umatnya tidak selalu sama. Sikap mereka terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama :Faminhum man hadal-Lah (maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah). Artinya, mereka adalah orang yang diberikan petunjuk Allah SWT, lalu beriman terhadapnya. Ini, diberikan taufik untuk beriman dengan memberikan petunjuk dan pengajaran. Demikian al-Zuhaili dalam tafsirnya. Atau seperti dikatakan al-Samarqandi, mereka adalah orang-orang yang memenuhi panggilan rasul untuk beriman.

Kedua : waminhum haqqat 'alayh al-dhalalah (dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya). Jika kelompok pertama beriman dengan risalah dan petunjuk yang dibawa oleh rasul, maka kelompok kedua ini bersikap sebaliknya. Mereka adalah orang yang tidak memenuhi panggilan rasul untuk beriman. Demikian dikatakan al-Samarqandi dalam tafsirnya. Atau seperti dijelaskan Ibnu Jarir al-Thabari, "Maka mereka menyimpang dari jalan yang lurus, lalu ingkar kepada Allah dan mendustakan rasul-rasul-Nya. Allah SWT pun menghancurkan mereka dengan siksa-Nya. "

Patut dicatat, bahwa sikap penolakan, pengingkaran, dan perlawanan tersebut merupakan pilihan mereka sendiri. Mereka lebih memilih kesesatan dibandingkan dengan petunjuk yang dibawa rasul. Hal ini seperti yang dilakukan kaum Tsamud. Allah SWT berfirman:Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu (tqs Fushilat [47]: 17). Juga dalam QS al-Taghabun [64]: 6).

Menurut al-Qinuji, dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa Allah SWT telah memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya dan menjauhi setan dan semua yang mengajak kepada kesesatan. Kemudian mereka terbagi menjadi dua. Di antara mereka ada yang mendapatkan petunjuk. Dan kedua, tetap berada dalam kesesatan.

Selain ayat ini, realitas tersebut juga diberitakan dalam firman Allah SWT: Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka (tqs al-A'raf [7]: 30).

Kemudian Allah SWT berfirman: Fasîrû fî al-ardh fa [un] zhurû Kayfa kana 'âqibah al-mukadzdzibîn (maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan [rasul-rasul]). Ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan kesudahan kaum terdahulu yang mendustakan para rasul, seperti kaum 'Ad dan Tsamud. Semua kaum tersebut dihancurkan. Bekas-bekas kehancuran negeri mereka masih tersisa dan dapat disaksikan oleh siapa pun sekarang.

Dengan memperhatikan kesudahan yang menimpa kaum yang mendustakan para nabi dan rasul itu, mereka dapat mengambil pelajaran. Agar tidak mendapatkan siksa yang menghancurkan, mereka tidak mengulangi sikap yang sama, yakni mendustakan para rasul dan risalahnya. Sehingga, sebagaimana dikemukakan al-Samarqandi, maksud dari ayat ini adalah: "Jadikanlah sebagai pelajaran, bagaimana kesudahan urusan orang-orang yang mendustakan." Masih menurut al-Samarqandi, ketika ayat turun dan dibacakan kepada mereka, mereka tetap tidak beriman. Kemudian turunlah ayat berikutnya.

Demikianlah ketetapan Allah SWT. Manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya.Pasrah dan menyerahkan diri kepada perintah dan larangan-Nya. Tunduk, patuh, dan taat terhadap semua syariah-Nya. Untuk itu, Allah SWT mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan petunjuk dan syariah-Nya. Di antara dakwah mereka adalah memerintahkan manusia untuk beribadah hanya kepada Allah SWT semata, sekaligus berpaling dan mengingkari semua berhala dan sesembahan selain-Nya. Itulah jalan yang mengantarkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali harus menerapkan syariah secara kaffah dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan negara; sekaligus mencampakkan semua sistem kufur yang meniscayakan penyembahan dan ketaatan terhadap selain Allah SWT. Masih ada yang keberatan?Semoga tidak. Wal-Lah a'lam bi al-shawab.

Ikhtisar:

1. Setiap umat diutus rasul untuk menyampaikan petunjuk Allah SWT
2. Dakwah semua rasul: beribadah kepada Allah SWT dan menjauhi al-thaghut.
3. Wajib mengimani rasul beserta petunjuknya dan tidak mengingkarinya
4. Ambillah pelajaran dari kesudahan kaum terdahulu yang mendustakan rasul.


Semoga Bermanfaat !!! ^^